Hujan abu kelabu menyelimuti Kota Terlarang, serupa kabut yang membungkus kenangan. Mei Lan berdiri di bawah atap beranda Istana Timur, gaun sutra putihnya berkibar tertiup angin musim gugur. Tangannya memegang erat giok bulan sabit yang terasa dingin di telapak tangan.
Di kejauhan, siluet seorang pria muncul dari balik gerbang. Li Wei.
Namanya, namanya adalah mantra yang dulu memanggil senyumnya, kini menyayat hatinya dengan setiap pengucapan. Li Wei, Pangeran Mahkota, pria yang pernah berjanji menjadikannya ratunya, pria yang kini menikahi putri Jendral Agung demi tahta.
Dia berjalan mendekat, wajahnya terpahat dari batu, tanpa emosi. Matanya – dulu lautan teduh tempat Mei Lan berlabuh – kini berkilat dingin seperti pedang yang diasah.
"Mei Lan," bisiknya, suaranya serak. Hujan abu menempel di rambutnya, membuatnya tampak lebih tua, lebih rapuh. "Mengapa kau di sini?"
Mei Lan tersenyum pahit. Senyum yang tidak mencapai matanya. "Bukankah istana ini milikmu, Yang Mulia? Haruskah aku yang bertanya?"
Li Wei menghela napas. "Kau tahu mengapa aku melakukan ini. Demi kemakmuran kerajaan."
"Kemakmuran yang dibangun di atas hatiku?" balas Mei Lan, suaranya bergetar. Ia mengangkat giok bulan sabit. "Ingatkah kau ini? Kau berjanji akan memberiku ini di malam bulan purnama, sebagai tanda cinta abadi kita!"
Li Wei terdiam. Ia menatap giok itu, bayangan penyesalan melintas di matanya, secepat kilat di tengah badai. "Dulu aku naif. Aku tidak tahu beban yang harus kupikul."
"Beban? Atau ambisi?" Mei Lan memejamkan mata. Air mata mengalir di pipinya, bercampur dengan hujan abu. Ia membuka mata, menatap Li Wei dengan tatapan yang membara. "Janji itu adalah jantungku, Li Wei. Dan kau meremukkannya."
Keheningan menyelimuti mereka, hanya dipecah oleh gemericik hujan abu. Li Wei mengulurkan tangan, seolah ingin menyentuh Mei Lan. Ia mengurungkannya.
"Maafkan aku," bisiknya. "Aku tidak bisa..."
"Tidak bisa apa?" potong Mei Lan, suaranya tajam. "Tidak bisa menepati janji? Tidak bisa mencintaiku? Tidak bisa menjadi pria yang dulu kukenal?"
Ia mendekat, menatap Li Wei tepat di matanya. "Kalau begitu, biarkan aku memberimu beban yang benar-benar berat, Yang Mulia. Beban penyesalan abadi."
Ia membalikkan badan, meninggalkan Li Wei di bawah hujan abu. Ia berjalan pergi, tidak menoleh. Ia tahu, di suatu tempat di masa depan, takdir akan menuntut keadilan atas nama cinta yang dikhianati, atas janji yang dilanggar. Ia tahu, namanya, nama Li Wei, akan menjadi duri yang menusuk hatinya sampai akhir hayat.
Dan saat malam tiba, dan perayaan pernikahan Li Wei dan Putri Jendral Agung mencapai puncaknya, sebuah kebakaran misterius melanda gudang persediaan istana. Api berkobar hebat, melalap segalanya. Tanpa ada yang tahu, di antara tumpukan kain sutra yang hangus, tercium aroma racun mematikan. Racun yang sama yang digunakan untuk melenyapkan klan Mei Lan di masa lalu. Takdir, seolah memiliki selera humor yang gelap, menggunakan tangan yang sama untuk memberikan keadilan dan merenggut nyawa.
Cinta memang bisa menjadi racun, bukan?
You Might Also Like: Review Skincare Lokal Untuk Kulit