Takhta yang Dihuni Bayangan Lama
Angin malam Istana Chang'an berbisik pilu, membawa aroma bunga Mei yang seharusnya menenangkan. Bagi Permaisuri Lian, aroma itu kini hanya mengiris, mengingatkannya pada senyum Kaisar yang dulu terasa sehangat mentari. Senyum yang kini ia tahu, hanyalah topeng.
Lima tahun. Lima tahun ia abdikan dirinya untuk Kaisar Li Wei, sejak ia hanyalah seorang pangeran yang terpinggirkan. Lian, dengan kecerdasan dan keanggunannya, membantunya menyingkirkan para rival, menjahit strategi kemenangan, dan merajut kekuasaan yang kini digenggamnya erat. Ia korbankan segalanya: keluarga, impian, bahkan sedikit demi sedikit, jiwanya.
Tapi takhta memang tempat yang dingin. Di sana, janji-janji manis Kaisar berubah menjadi belati yang menikam jantung Lian secara perlahan. Ia saksikan sendiri, bagaimana Kaisar terpesona pada selir yang baru tiba, seorang gadis muda dengan tawa yang renyah, persis seperti yang pernah dimiliki Lian.
Pelukan Kaisar, yang dulu terasa bagai benteng perlindungan, kini bagaikan racun yang merambat di nadinya. Setiap sentuhan, setiap bisikan cinta yang dulunya ia puja, terasa seperti ejekan yang kejam.
Lian tidak menangis. Seorang Permaisuri tidak boleh menunjukkan kelemahan. Ia menyembunyikan luka itu di balik senyum sempurna, di balik jubah sutra yang elegan, di balik tatapan mata yang seolah tak terpengaruh. Hanya dirinya sendiri yang tahu, bagaimana hatinya hancur berkeping-keping.
Namun, keheningan Lian adalah badai yang tertunda. Ia tidak membalas dengan darah atau kekerasan. Ia terlalu cerdas untuk itu. Ia tahu, balas dendam terbaik adalah membuat Kaisar Li Wei menyesal seumur hidupnya.
Dengan kesabaran seorang ahli strategi, Lian perlahan namun pasti, mengasingkan Kaisar dari rakyatnya. Ia tanam keraguan di hati para menteri, ia bangun kembali koneksi yang dulu ia miliki, dan ia biarkan Kaisar Li Wei terperangkap dalam jaring kebohongan yang ia ciptakan sendiri.
Suatu hari, Kaisar Li Wei mendapati dirinya sendirian. Tahta itu masih miliknya, namun di sekelilingnya hanya ada kekosongan. Kepercayaan telah hilang, cinta telah mati, dan penyesalan menggerogoti jiwanya. Ia memandang Lian, matanya memohon ampun.
Lian hanya tersenyum. Senyum yang dingin, tajam, dan abadi.
Kaisar Li Wei memang masih Kaisar. Namun, tahta itu, kini adalah penjara yang ia bangun sendiri. Ia memerintah di atas bayangan dirinya yang dulu, bayangan seorang pria yang pernah dicintai Permaisuri Lian.
Lian meninggalkan istana, dengan hati yang berat, namun bebas. Ia tidak menang. Ia tidak kalah. Ia hanya… menghilang.
Di ujung jalan, ia berbisik pada angin, "Cinta dan dendam… lahir dari tempat yang SAMA."
You Might Also Like: Ini Baru Drama Janji Yang Tertinggal Di