Air Mata yang Tak Sempat Jatuh
Hujan turun di atas makam. Bukan gerimis, bukan pula badai, hanya rintik lembut yang membasahi nisan usang dan tanah yang baru saja mengering. Suara itu, sesungguhnya, lebih keras dari isak tangis siapapun yang pernah berdiri di sini. Sunyi. Sepi. Keabadian yang dingin.
Liu Mei, atau seharusnya dulu bernama Liu Mei, berdiri di sana. Tubuhnya tembus pandang, sehalus kabut yang menari di antara pepohonan bambu. Wajahnya, yang dulu penuh senyum, kini menyimpan guratan kesedihan yang tak terucapkan. Ia kembali. Bukan karena dendam, bukan karena amarah, tetapi karena… sesuatu yang tertinggal.
Enam bulan lalu, Liu Mei ditemukan di tepi sungai. Tenggelam. Sebuah kecelakaan, kata mereka. Tragedi yang menyedihkan. Namun, bagi Liu Mei, kematian itu terasa ganjil. Ada bisikan-bisikan samar, bayangan yang menolak pergi, dan kebenaran yang terpendam di balik senyum palsu orang-orang terdekatnya.
Ia mengembara di antara dunia hidup dan dunia arwah. Menyaksikan kesedihan ibunya, kebingungan adiknya, dan… keacuhan suaminya, Zhang Wei. Pria yang dulu berjanji akan mencintainya selamanya. Pria yang sekarang, bahkan tak mampu meneteskan air mata di depan makamnya.
Setiap malam, Liu Mei mengunjungi rumahnya. Bayangannya melayang di lorong-lorong gelap, mencuri dengar percakapan, memperhatikan gerak-gerik. Ia melihat Zhang Wei tertawa, bercanda dengan teman-temannya. Bagaimana mungkin? Bagaimana bisa ia melupakan dirinya secepat ini?
Suatu malam, Liu Mei melihatnya. Sebuah kotak kayu kecil, tersembunyi di balik tumpukan buku di lemari kerja Zhang Wei. Dengan tangan gemetar, ia berusaha membukanya. Meskipun wujudnya hanyalah roh, ia merasakan denyutan kehidupan, harapan yang belum padam.
Di dalam kotak itu, terdapat surat-surat. Bukan surat cinta, bukan pula surat persahabatan. Surat-surat ancaman. Ditujukan kepada Liu Mei, dari seseorang yang mengaku tahu rahasia gelap Zhang Wei. Seseorang yang mengancam akan membongkar semuanya jika Liu Mei tidak memberikan sejumlah uang.
Air mata (atau mungkin hanya tetesan embun yang jatuh dari kelopaknya yang tembus pandang) menetes. Bukan air mata kesedihan, bukan pula air mata kemarahan. Tetapi air mata pemahaman. Ia mengerti sekarang. Kematiannya bukanlah kecelakaan. Zhang Wei… membungkamnya.
Namun, jauh di lubuk hatinya, Liu Mei tidak menginginkan balas dendam. Ia hanya ingin kebenaran terungkap. Ia ingin ibunya, adiknya, dan bahkan Zhang Wei sendiri, bisa hidup dengan jujur. Ia ingin… damai.
Dengan kekuatan terakhir yang dimilikinya, Liu Mei membisikkan nama orang yang menulis surat-surat ancaman itu ke telinga adiknya, Li Wei. Bukan dengan kata-kata, tetapi dengan perasaan, dengan getaran jiwa yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang benar-benar mencintainya.
Keesokan harinya, Li Wei menemukan surat-surat itu. Kebenaran terkuak. Zhang Wei ditangkap dan diadili. Dunia akhirnya tahu, bahwa Liu Mei meninggal bukan karena kecelakaan, tetapi karena dikhianati.
Di atas makamnya, hujan berhenti. Matahari perlahan muncul, menyinari nisan dengan cahaya keemasan. Liu Mei tersenyum, tipis. Tugasnya selesai. Ia bisa pergi dengan tenang sekarang. Kedamaian yang selama ini dicari, akhirnya ia temukan.
Dan saat angin berbisik di antara pepohonan bambu, seolah ada suara lembut yang berkata, "Akhirnya…"
You Might Also Like: Easily Definition And Meaning Easily