Drama Baru! Ia Membagikan Puisi Tentangku, Tapi Dengan Nama Samaran



Hujan kota Jakarta, abu-abu dan dingin, menari di layar ponselku. Setiap tetesnya adalah notifikasi yang tak kunjung usai: berita, promo kopi, dan tentu saja, unggahan terbaru dari akun anonim @SenandungSenja. Akun itu, yang entah bagaimana, selalu menulis puisi tentang AKU.

Bukan secara eksplisit, tentu saja. Namaku tak pernah disebut. Tapi setiap baris, setiap metafora tentang mata hazel di tengah keramaian, tentang aroma teh melati di sore hari, tentang senyum yang bisa meruntuhkan beton sekalipun, semuanya… Aku.

Awalnya, aku merasa risih. Siapa orang ini? Seorang penguntit? Pengagum rahasia? Lalu rasa risih itu berubah menjadi penasaran, lalu menjadi candu. Aku menunggui unggahan barunya setiap malam, ditemani aroma kopi yang pahit dan harapan yang samar. Aku menyukai setiap puisinya, menyimpannya di draft chat yang tak pernah terkirim.

"Kamu aneh, Jingga," kata Maya, sahabatku, sambil menyeruput es tehnya. "Masa' suka sama orang yang nggak jelas gitu? Kayak di novel klise!"

Mungkin benar. Tapi di antara notifikasi yang bising, puisi-puisi @SenandungSenja adalah nada yang menenangkan. Ia melihatku, bahkan ketika aku merasa tak terlihat. Ia memahami kerinduan yang terpendam, mimpi yang ku kubur dalam-dalam, dan kenangan yang mencoba ku hapus. Kenangan tentang DIA.

Dulu, aku percaya kami ditakdirkan. Dulu, aku pikir cintanya abadi. Sekarang, yang tersisa hanya sisa chat yang belum terkirim, foto-foto yang tersimpan dalam folder tersembunyi, dan rasa kehilangan yang samar, abadi, menusuk.

Lalu, suatu malam, muncul puisi tentang "Bintang Utara yang hilang". Tentang seseorang yang pergi tanpa pamit, meninggalkan kehampaan yang tak terisi. Jantungku berdegup kencang. Ini… tentang DIA?

Aku menggali lebih dalam. Melalui petunjuk-petunjuk yang tersebar di antara puisinya, melalui metadata foto profilnya, aku menemukan jejaknya. Jejak yang mengarah pada seorang pria bernama… Aris. Aris yang PERGI.

Aris yang meninggalkanku tanpa sepatah kata pun, tanpa alasan, tanpa penjelasan. Aris yang kini, dengan pengecut, menulis puisi tentangku, dengan nama samaran.

Amarahku membuncah. Tapi bukan amarah yang membabi buta. Ini amarah yang dingin, terkendali. Aku tahu apa yang harus aku lakukan.

Malam itu, aku membalas pesan terakhirnya – pesan yang bertahun-tahun lalu ku simpan di draft.

"Hai, Aris. Aku tahu ini kamu. Terima kasih atas puisinya. Indah. Tapi aku sudah sembuh."

Keesokan harinya, aku mengunggah foto diriku, tersenyum lebar, di Instagram. Captionnya sederhana: "Babak baru."

Aku memblokir akun @SenandungSenja.

Aku memilih untuk pergi dari sana, dengan mengangkat dagu tinggi-tinggi.

Aku ingin menghapus semuanya tentangnya, tapi ku rasa... aku sudah menghukumnya, mungkin lebih dari yang dia kira.

Hujan kota masih turun. Tapi kali ini, aku tidak merasakan dinginnya. Aku menyesap kopi, menikmati aromanya, dan tersenyum tipis.

Aku sudah bebas.

Namun, sesaat sebelum mematikan ponsel, aku terpaku. Notifikasi masuk: dari akun @SenandungSenja. Sebuah puisi terakhir, tanpa judul, tanpa nama.

"Jingga, maafkan aku. Aku tidak pernah…"...

You Might Also Like: 0895403292432 Skincare Pencerah Wajah

Post a Comment

Previous Post Next Post