Di Bawah Hujan Pedang: Senyum yang Menusuk Jiwa
Hujan pedang menyayat langit, membelah malam yang kelam. Di tengah hiruk pikuk pertempuran, mataku terpaku padanya. Jenderal Zhao, pahlawan yang diagungkan, kekasih yang kurindu.
Senyumnya, oh, senyum itu. Dulu, ia adalah mentari di hari yang dingin, penghangat di musim salju. Sekarang, senyum itu adalah belati yang menusuk jantungku perlahan. Ia berbohong. Ia mengkhianati. Ia memilih kekuasaan daripada cinta kami.
Aku mengingat pelukannya. Dulu, pelukan itu adalah tempatku bersembunyi, rumahku, duniaku. Sekarang, pelukan itu terasa seperti racun yang mengalir dalam darahku, membunuhku dari dalam.
"A-Qing," bisiknya, suara yang dulu membuatku bergetar kini hanya terasa hambar. "Maafkan aku."
Maaf? Kata itu terasa seperti hinaan. Semua janji yang pernah ia ucapkan – abadi, selamanya, hanya kamu – kini hanya serpihan kaca yang menggores hatiku.
Di sekeliling kami, prajurit bertempur, pedang beradu, teriakan memekakkan telinga. Namun, aku hanya melihatnya. Hanya dia. Di tengah kekacauan ini, aku memilih untuk tenang. Aku memilih untuk tidak marah, tidak menangis. Aku hanya menatapnya, dengan tatapan yang menyimpan lautan rasa sakit.
Aku melangkah maju. Di bawah tatapan terkejutnya, aku memeluknya. Erat. Seerat dulu, seolah kami masih memiliki dunia yang sama.
"Jangan… jangan lakukan ini," bisiknya, suaranya bergetar.
Terlambat.
Aku tersenyum. Senyum yang pahit, senyum yang sakit, senyum yang akan menghantuinya seumur hidup. Karena di pelukan ini, aku menyuntikkan racun yang tidak akan membunuhnya, tapi akan membuatnya hidup dengan penyesalan abadi. Ia akan mengingatku setiap kali ia meraih kekuasaan. Ia akan melihat wajahku setiap kali ia memenangkan pertempuran. Ia akan merasakan sakitnya setiap kali ia tersenyum.
"Aku… mencintaimu," bisikku, kata-kata terakhir yang terucap di dadanya. Aku mati dalam kedamaian palsu, namun ia akan hidup dalam neraka yang nyata.
Beberapa tahun kemudian, Jenderal Zhao, kini Kaisar Zhao, berdiri di atas takhta yang direbutnya. Ia memiliki segalanya – kekuasaan, kemuliaan, dan kerajaan yang luas. Namun, di matanya, hanya ada kekosongan. Ia tidak pernah bisa melupakan A-Qing, wanita yang dicintainya, wanita yang dikhianatinya, wanita yang menghantuinya setiap malam.
Kemenangan terasa hambar. Kekuasaan terasa berat. Cinta terasa seperti kutukan.
Ia tahu. Ia tahu bahwa A-Qing telah mengambil balas dendam yang sempurna. Bukan darah, bukan kematian, tapi penyesalan abadi yang akan menemaninya hingga akhir hayat.
Cinta dan dendam... lahir dari tempat yang sama.
You Might Also Like: Interpretasi Mimpi Bertemu Burung