Kau Pergi Bersama Waktu, Tapi Aku Tinggal Bersama Kenangan
Langit kota Shanghai malam itu memantulkan jutaan lampu, sama gemerlapnya dengan gaun merah yang kukenakan. Di sampingku, dia tersenyum. Senyum yang dulu selalu membuat jantungku berdebar, kini terasa hanya topeng. Topeng yang sangat indah, hingga aku nyaris lupa betapa beracunnya pelukannya.
"Cantik sekali, Lin Wei," bisiknya, suaranya selembut sutra yang dulu kurasa tulus. Sekarang, bisikan itu terdengar seperti gema janji-janji kosong. Janji tentang selamanya, tentang cinta abadi, yang kini menjelma menjadi belati yang menusuk jantungku perlahan.
Lima tahun. Lima tahun aku mencintainya dengan segenap jiwa. Memberikan segalanya, tanpa ragu, tanpa syarat. Bodohnya aku. Terlalu dibutakan oleh cintanya, hingga tak menyadari ada duri yang tumbuh di taman indah yang kami bangun bersama. Duri bernama Xu Mei, sekretarisnya, yang senyumnya terlalu manis untuk ukuran seorang rekan kerja.
Malam ini, di pesta ulang tahunnya, semuanya terungkap. Sebuah foto di layar besar, foto dirinya dan Xu Mei berciuman mesra di Roma, bulan lalu. Bulan yang sama saat dia berjanji padaku akan selalu ada.
Orkestra masih memainkan melodi romantis, gelas-gelas kristal berdenting riang, tapi duniaku runtuh. Bukan dengan ledakan keras, melainkan dengan keheningan yang memekakkan.
Aku tidak berteriak, tidak menangis, tidak membuat keributan. Aku terlalu elegan untuk itu. Aku hanya menatapnya, matanya yang dulu kurasa penuh cinta, kini dipenuhi kepanikan dan penyesalan.
"Selamat ulang tahun, Zhang Wei," ucapku, suaraku tenang, nyaris berbisik. "Semoga kau bahagia."
Aku berbalik, melangkah pergi dengan anggun. Tidak ada yang tahu badai dahsyat yang berkecamuk di dalam diriku. Tidak ada yang tahu rencana yang sudah tersusun rapi di benakku.
Balas dendamku bukan darah atau air mata. Itu terlalu murah. Balas dendamku adalah kehilangan segalanya.
Beberapa bulan kemudian, aku menjual sahamku di perusahaan keluarga Zhang. Saham yang dulu kuberikan padanya sebagai hadiah pernikahan. Saham yang kini, setelah kujual, mengguncang perusahaannya hingga ke akarnya. Harga sahamnya anjlok, reputasinya hancur, dan dia… dia kehilangan kendali.
Kudengar Xu Mei meninggalkannya. Kudengar dia minum terlalu banyak, hingga kehilangan fokus. Kudengar bisnisnya berantakan.
Aku tidak peduli. Atau mungkin sedikit.
Suatu sore, aku duduk di balkon apartemenku, menyesap teh chamomile. Dari kejauhan, kulihat Zhang Wei berdiri di seberang jalan, menatapku. Matanya kosong, penuh penyesalan.
Aku hanya tersenyum tipis. Senyum yang kali ini, benar-benar topeng.
Dia pergi, berbalik dan menghilang di keramaian kota.
Aku ditinggalkan dengan rasa manis pahit di lidahku. Kemenangan yang hampa. Kebahagiaan yang ternoda.
Cinta dan dendam... lahir dari tempat yang sama, bukan?
You Might Also Like: 57 Manfaat Skincare Lokal Dengan