Cinta yang Menjadi Tumbal Kekuasaan
Alun biola mengalun lirih di tengah taman istana yang bermandikan cahaya rembulan. Di sanalah, di bawah naungan pohon sakura yang bersemi, Mei Lan berdiri. Gaun sutra putihnya menari lembut mengikuti hembusan angin malam, menutupi hatinya yang remuk redam.
Senyumnya, selalu indah, malam ini terasa asing. Sebuah topeng yang menutupi jurang dalam kepedihan. Dulu, senyum itu adalah matahariku, batinnya menjerit. Sekarang, hanya gema kosong dari kebahagiaan yang pernah ada.
Lima tahun lalu, Li Wei, pewaris takhta kekaisaran yang gagah perkasa, datang ke hidupnya. Cinta mereka mekar dengan liar, seperti anggrek hutan yang menembus kerasnya batu. Pelukan hangatnya terasa seperti rumah, tempat Mei Lan bisa melupakan beban hidup sebagai putri dari keluarga pedagang yang sederhana. Janji-janji tentang masa depan bersama terucap manis, membungkus hatinya dalam kebahagiaan semu.
Namun, istana adalah labirin kekuasaan, di mana cinta hanyalah bidak. Li Wei, yang terobsesi dengan kekuasaan, diatur untuk menikahi Putri dari Kerajaan Zhao, aliansi yang akan mengamankan takhtanya.
Mei Lan mengingat hari pengkhianatan itu. Kata-kata Li Wei, yang dulunya terasa seperti madu, berubah menjadi belati berkarat yang menghujam jantungnya. "Ini demi kerajaan, Mei Lan. Kau harus mengerti."
Mengerti? Bagaimana bisa dia mengerti, saat dunianya runtuh di hadapannya?
Ia tidak menangis. Ia tidak berteriak. Mei Lan hanya mengangguk, menerima nasibnya dengan ketenangan yang membingungkan. Ia belajar menyembunyikan lukanya di balik keanggunan seorang wanita istana. Ia belajar tersenyum meskipun hatinya berdarah-darah. Ia belajar menari di atas puing-puing cintanya.
Bertahun-tahun berlalu. Li Wei menjadi Kaisar yang perkasa, memimpin kerajaan dengan tangan besi. Namun, tatapannya selalu mencari Mei Lan, yang kini menjadi penasihatnya yang paling dipercaya. Ia melihat penyesalan di matanya, kerinduan yang tak terucapkan.
Inilah saatnya.
Balas dendam Mei Lan tidak berdarah. Ia tidak menggunakan racun atau pedang. Ia menggunakan pikirannya, kecerdasannya, dan pengetahuannya tentang kelemahan Li Wei. Ia membisikkan saran yang terdengar logis, namun perlahan-lahan melemahkan kekaisaran dari dalam. Ia menanam bibit keraguan di antara para jenderal, memicu perselisihan di antara para menteri.
Li Wei, terlalu sibuk dengan urusan negara dan kegelisahan hatinya, tidak menyadari bahwa ia sedang ditikam dari belakang. Ia buta oleh cintanya yang hilang, dan Mei Lan memanfaatkannya dengan sempurna.
Akhirnya, kekaisaran runtuh. Bukan karena perang atau pemberontakan, tapi karena kerapuhan dari dalam. Li Wei kehilangan segalanya: takhta, kekuasaan, dan yang terpenting, rasa hormat dari rakyatnya.
Di penghujung hari, Mei Lan berdiri di hadapan Li Wei, yang kini hanya tinggal bayangan dari dirinya yang dulu. Tidak ada ejekan, tidak ada kemenangan yang sombong. Hanya tatapan tenang yang menusuk jiwanya.
"Kau mengorbankan cinta kita demi kekuasaan, Li Wei. Sekarang, kau telah kehilangan keduanya."
Ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Li Wei dalam penyesalan yang abadi. Penyesalan adalah penjara abadi yang lebih kejam daripada kematian.
Langkahnya ringan, namun hatinya berat. Kemenangan ini terasa hambar, seperti anggur mahal yang kehilangan aromanya.
Di kejauhan, angin kembali bertiup, menggugurkan kelopak sakura.
Cinta dan dendam lahir dari tempat yang sama... dan keduanya bisa menghancurkan.
You Might Also Like: 110 Unveiling Nexus Between Agrifood