Kau Memelukku di Dunia Ini, Tanpa Tahu Aku yang Membunuhmu Dulu
Embun pagi merayapi kelopak Peony, selembut sentuhan Li Wei pada rambutku. Di taman ini, di bawah naungan pohon persik yang bermekaran, aku merasa aman. Aku, Mei Hua, merasa dicintai. Ironis, bukan? Karena di balik senyum teduhnya, di balik dekapan hangatnya, Li Wei menyimpan rahasia yang menghancurkan: dia tidak tahu bahwa akulah yang bertanggung jawab atas kematian kakaknya, Li Jun.
Lima tahun lalu, di tengah kekacauan perebutan kekuasaan di istana, aku, seorang putri dari kerajaan yang ditaklukkan, terpaksa menjadi alat. Aku meracuni Li Jun, pewaris takhta yang karismatik, untuk memuluskan jalan bagi pangeran boneka. Itu adalah perintah. Itu adalah KELANGSUNGAN HIDUP.
Kini, aku hidup dengan nama samaran, bersembunyi dari bayang-bayang masa lalu, dan terikat pada Li Wei. Dia adalah matahariku, yang menyinari kegelapan hatiku. Dia adalah alasan mengapa aku bangun setiap pagi, meskipun mimpi buruk selalu menghantuiku.
Namun, kebahagiaan ini rapuh seperti kaca.
Perlahan tapi pasti, Li Wei mulai menggali masa lalu. Dia menanyakan hal-hal tentang Li Jun, tentang kematiannya yang mendadak. Matanya yang penuh cinta kini dipenuhi keraguan, lalu curiga. Setiap pertanyaan adalah belati yang menusuk hatiku. Setiap sentuhannya terasa seperti HUKUMAN.
Aku berusaha mengelak, berbohong dengan air mata di mata. Aku memohon pada dewa-dewa yang telah lama meninggalkanku untuk melindungiku, untuk melindungi cinta yang tumbuh di atas fondasi dosa.
Tapi kebenaran selalu menemukan jalannya.
Suatu malam, Li Wei menemukan kotak kayu kecil di loteng rumah kita. Di dalamnya terdapat jepit rambut Peony milikku, yang hilang lima tahun lalu di istana. Dia mengenalinya. Dia ingat pernah melihatnya di rambut seorang dayang yang melayani Li Jun.
Malam itu, hujan turun dengan deras. Petir menyambar, menerangi wajah Li Wei yang pucat pasi. Matanya berkilat marah dan terluka.
"Siapa kau?" bisiknya, suaranya bergetar.
Aku tidak bisa berbohong lagi. Aku menceritakan semuanya. Pembunuhan itu, paksaan itu, penyesalan yang menghantuiku setiap detik.
Setelah selesai, hening mencekam. Hujan semakin deras, seolah langit pun menangisi nasib kami.
Li Wei tidak berteriak. Dia tidak memukulku. Dia hanya menatapku dengan tatapan yang membuatku merasa MATI.
Kemudian, dia melakukan sesuatu yang tidak kuduga. Dia memelukku. Erat. Hangat. Seolah dia berusaha menyerap semua rasa sakitku, semua dosaku.
"Aku tahu," bisiknya di telingaku. "Aku sudah tahu."
Ternyata, Li Wei telah mengetahui kebenarannya sejak lama. Dia telah menyusun rencana balas dendam yang SEMPURNA.
Dia membiarkanku mencintainya. Dia membiarkanku percaya bahwa aku bisa menebus dosaku. Dia membiarkanku membangun kehidupan baru bersamanya, hanya untuk menghancurkannya berkeping-keping.
"Kau telah membunuh kakakku," katanya, melepaskan pelukannya. "Sekarang, giliranmu merasakan kehilangan yang sama."
Dia tidak membunuhku dengan pedang atau racun. Dia membunuhku dengan KEBENARAN.
Dia meninggalkanku. Di tengah hujan badai, sendirian. Dia pergi tanpa sepatah kata pun, hanya meninggalkan senyum dingin di bibirnya. Senyum yang mengatakan PERPISAHAN SELAMANYA.
Aku ditinggalkan dengan kehancuran, rasa bersalah, dan cinta yang telah ternoda. Balas dendamnya bukan darah, melainkan kehampaan. Kehampaan yang akan mengikutiku sampai akhir hayatku.
Saat fajar menyingsing, aku berdiri di taman Peony, basah kuyup dan menggigil. Bunga-bunga itu tampak layu, mencerminkan hatiku yang hancur.
Apakah dia benar-benar pergi? Atau ini hanya awal dari permainan yang lebih kejam?
You Might Also Like: 0895403292432 Jual Skincare Lokal